MUARA ENIM, TRIKPOS.com— Ketegangan mencuat di Desa Darmo, Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, menyusul pelaksanaan proyek CHF TLS 6 & 7 milik PT Bukit Asam Tbk (PTBA) yang dituding mencaplok lahan warga tanpa penyelesaian hukum yang jelas.
Dua kuasa hukum warga, Ridwan Hayatuddin, S.H., M.H., dan Dr. Conie Pania Putri, S.H., M.H., menyampaikan sikap penolakan keras terhadap aktivitas perusahaan tambang tersebut. Mereka mewakili 262 warga Desa Darmo yang merasa haknya atas tanah adat dan hutan ulayat telah dilanggar.
Ridwan menjelaskan, PTBA hanya memberikan santunan sebagai bentuk kompensasi, bukan ganti rugi sebagaimana mestinya. Langkah itu dinilai tidak sesuai dengan landasan hukum agraria yang berlaku, mengingat lahan yang digarap warga memiliki nilai historis dan yuridis yang kuat.
“Desa Darmo sudah berdiri sejak 1812. Warganya hidup dari tanah leluhur dan hutan adat yang diwariskan secara turun-temurun. Hak mereka dijamin oleh UUD 1945 dan berbagai undang-undang,” ujar Ridwan dalam keterangan di lokasi proyek, Selasa (15/7/2025).
Mereka juga menyoroti penggunaan Perpres No. 78 Tahun 2023 oleh PTBA sebagai dasar pemberian santunan, yang dianggap tidak relevan dalam konteks sengketa lahan adat. Bahkan, SK Menteri LHK No. 804 Tahun 2019 dengan tegas menyatakan bahwa perusahaan wajib menyelesaikan hak-hak masyarakat sebelum memulai kegiatan.
Ironisnya, pada Senin, 14 Juli 2025, PTBA melakukan aktivitas penggusuran lahan berupa kebun karet dan hutan ramuan milik warga tanpa pemberitahuan resmi. Proses penggusuran disertai dengan kehadiran aparat TNI dan Polri, yang dinilai justru menambah tekanan psikologis bagi warga.
“Ini bukan hanya tindakan sepihak, tapi juga bentuk ketidakadilan. Warga punya hak legal dan historis yang tidak boleh diabaikan,” tegas Conie.
Disebutkan pula bahwa pada 30 Mei 2022, sempat terjadi pertemuan antara warga dan perwakilan PTBA dengan disaksikan Kepala Desa Darmo. Dalam pertemuan itu, disepakati bahwa penyelesaian kerugian akan mengikuti Peraturan Gubernur. Namun kesepakatan tersebut tidak direalisasikan sebagaimana mestinya oleh pihak perusahaan.
Dalam pernyataannya, kuasa hukum dan warga menuntut:
- Dihentikannya semua aktivitas proyek CHF TLS 6 & 7 di Desa Darmo.
- Pengakuan atas hak ulayat dan hutan adat, serta pemulihan hak masyarakat.
- Kompensasi yang sah dan adil, sesuai aturan hukum, bukan hanya berupa santunan.
- Penghentian intimidasi dan tindakan represif terhadap masyarakat.
“Kami mendesak agar pemerintah daerah, Kementerian LHK, dan aparat penegak hukum segera mengambil tindakan. Jangan biarkan hukum dikalahkan oleh kepentingan korporasi,” pungkas Ridwan.
Reporter : Deni Gumay
Editor : Iwan