PALEMBANG, TRIKPOS.com | Dunia hukum tak lagi identik dengan tumpukan berkas dan ruang sidang yang kaku. Di tengah gempuran revolusi digital dan kecerdasan buatan (AI), profesi advokat kini menghadapi babak baru menegakkan keadilan di ruang siber.
Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat, tugas utama seorang advokat adalah memberikan bantuan hukum, membela, dan mewakili kepentingan hukum klien, baik di dalam maupun di luar pengadilan. Namun kini, cara kerja dan pola interaksi dalam profesi tersebut tengah mengalami transformasi besar.
“Advokat tidak bisa lagi bekerja dengan cara lama. Dunia hukum ikut berubah, dan kita harus bisa beradaptasi tanpa meninggalkan nilai-nilai dasar profesi,” ujar A. Rilo Budiman, SH, MH, seorang advokat muda yang aktif berkiprah di Sumatera Selatan.
Pandemi COVID-19 menjadi titik balik perubahan sistem kerja di berbagai sektor, termasuk hukum. Pertemuan yang dulunya wajib tatap muka, kini dapat dilakukan lewat layar. Pengiriman berkas hukum yang sebelumnya dilakukan secara fisik, kini bisa diselesaikan dalam hitungan detik melalui sistem daring.
Bahkan, Mahkamah Agung telah menginisiasi sistem e-court layanan pengajuan perkara, pembayaran biaya perkara, hingga sidang secara virtual. Kebijakan ini ditegaskan melalui Peraturan Mahkamah Agung (Perma) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Administrasi Perkara dan Persidangan di Pengadilan Secara Elektronik.
Dengan sistem ini, advokat dapat mendampingi klien tanpa harus selalu hadir di ruang sidang. Namun di balik kemudahan tersebut, muncul tantangan baru yang tak bisa diabaikan.
Empat Tantangan Advokat di Era Digital
1. Pembuktian Digital
Transaksi dan dokumen kini banyak berbentuk soft file. Tantangannya, bagaimana memastikan keaslian dokumen elektronik agar dapat dijadikan alat bukti sah di pengadilan. Advokat harus mampu memahami teknologi tanda tangan digital, metadata, dan forensik dokumen.
2. Kejelian Terhadap Transaksi Elektronik
Kontrak hukum kini sering dibuat dalam format digital seperti e-contract atau e-signature. Advokat harus cermat dalam menelaah keabsahan kontrak elektronik agar tidak menimbulkan sengketa di kemudian hari.
3. Perlindungan Data Pribadi
Meski Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi, ancaman siber tetap menghantui. Data klien, dokumen hukum, hingga identitas digital dapat menjadi sasaran peretas. Advokat dituntut memahami keamanan siber untuk melindungi kerahasiaan klien.
4. Menentukan Subjek Hukum di Dunia Maya
Di ruang digital, batas antara individu dan entitas menjadi kabur. Advokat harus mampu melakukan due diligence dan mitigasi risiko terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan secara daring, mulai dari transaksi aset digital hingga kasus penipuan online.
Adaptasi dan Etika Tetap Sejalan
Transformasi digital menuntut advokat untuk tidak hanya cakap hukum, tetapi juga melek teknologi. Penguasaan aplikasi pengelolaan dokumen, analisis data hukum, hingga pemanfaatan AI untuk legal research menjadi kebutuhan yang tidak terelakkan.
Namun, di tengah semua itu, kode etik profesi tetap menjadi landasan utama. “Teknologi boleh berubah, tapi integritas advokat harus tetap kokoh,” tegas Rilo, kantor hukum SAKAHIRA Law Firm.
Profesi Hukum di Persimpangan Zaman
Era digital menghadirkan efisiensi sekaligus kompleksitas baru bagi profesi advokat. Di satu sisi, teknologi mempercepat proses hukum dan memperluas akses keadilan. Namun di sisi lain, muncul tantangan etika, keamanan, dan kompetensi yang harus dihadapi dengan kesiapan mental dan profesionalisme.
Advokat yang mampu menyeimbangkan antara hukum, teknologi, dan nilai moral akan menjadi pionir di masa depan. Karena sejatinya, keadilan tak hanya ditegakkan di ruang sidangtapi juga di dunia digital yang terus berevolusi.
Penulis : Iwan / SAKAHIRA Law Firm