PALEMBANG, TRIKPOS.com | Penanganan kasus korupsi revitalisasi Pasar Cinde Palembang yang digarap Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan (Kejati Sumsel) kini memasuki babak krusial. Bukan hanya menyangkut aliran dana dan penyimpangan prosedur proyek, tapi juga munculnya indikasi kuat gangguan serius terhadap proses hukum yang sedang berjalan.
Dalam konferensi pers terbaru, Kejati mengungkap fakta mengejutkan: adanya dugaan praktik obstruction of justice, atau upaya menghalangi penyidikan secara terstruktur dan sistematis.
Bukti digital berupa percakapan elektronik menunjukkan seseorang rela menjadi “pemeran pengganti” dalam kasus ini, dengan kompensasi hingga Rp17 miliar. Praktik ini mengindikasikan upaya licik untuk menutup jejak aktor utama yang sebenarnya paling bertanggung jawab.
“Ini bukan sekadar kasus korupsi biasa, ini sudah mengarah pada upaya menghambat jalannya hukum,” tegas Aspidsus Kejati Sumsel, Umaryadi.
Penyidikan yang sudah memeriksa 74 saksi juga menguak dugaan bahwa ada kelompok tertentu yang secara aktif mencari pihak lain untuk dijadikan tumbal hukum. Tujuannya jelas: menyelamatkan aktor-aktor besar yang diduga berada di balik manipulasi proyek Pasar Cinde.
Empat tersangka telah ditetapkan, termasuk mantan Gubernur Sumsel, H. Alex Noerdin, yang sebelumnya juga tersangkut dalam dua kasus korupsi besar. Tiga nama lain yang turut terjerat adalah Edi Hermanto (Ketua Panitia Pengadaan Mitra BGS), Eldrin Tando (Direktur PT Magna Beatum), dan Rainmar (Kepala Cabang PT Magna Beatum).
Revitalisasi Pasar Cinde sendiri dinilai cacat sejak awal. Proyek bermitra dengan perusahaan yang tak memenuhi syarat, kontrak diteken tanpa prosedur resmi, dan bangunan cagar budaya justru dihilangkan.
Penyidikan juga menelusuri dugaan suap yang mengalir untuk memanipulasi pengurangan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB). Semua itu memperlihatkan bagaimana korupsi dan obstruksi menyatu dalam proyek bernilai miliaran ini.
Kejaksaan menegaskan bahwa kemungkinan adanya tersangka baru sangat terbuka. “Kami akan usut tuntas, termasuk indikasi obstruction of justice,” tegas Umaryadi.
Skandal Rp17 miliar untuk membeli pengorbanan seseorang agar menjadi tersangka menggambarkan betapa kuatnya resistensi terhadap transparansi dan keadilan hukum. Ini bukan hanya ujian bagi integritas aparat penegak hukum, tapi juga tantangan besar bagi masyarakat sipil yang menanti keadilan.
Apakah upaya pembusukan hukum ini akan dilawan hingga tuntas? Ataukah kekuatan di balik layar akan kembali meredamnya lewat kompromi kekuasaan?