JAKARTA, TRIKPOS.com – Kejaksaan Agung (Kejagung) tengah mengusut kasus dugaan korupsi yang melibatkan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex). Meski merupakan perusahaan swasta, PT Sritex tetap dapat menjadi objek perkara jika terbukti merugikan keuangan negara.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menjelaskan bahwa penyidikan saat ini berfokus pada keterlibatan bank pemberi kredit, yang merupakan bank milik pemerintah atau Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
“Bank yang memberikan kredit ini adalah bank pemerintah,” ujar Harli kepada wartawan, Selasa (6/5/2025).
Ia menambahkan, berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dana yang dikelola oleh pemerintah pusat, daerah, maupun BUMN termasuk dalam ruang lingkup keuangan negara. Oleh karena itu, pemberian fasilitas kredit dari bank milik negara kepada PT Sritex menjadi bagian dari objek penyidikan.
“Yang kami lihat adalah apakah dana-dana yang diberikan sebagai pinjaman ke PT Sritex, baik dari bank milik pemerintah pusat maupun daerah, terindikasi menyebabkan kerugian negara,” lanjutnya.
Menurut Harli, saat ini tim penyidik masih memeriksa sejumlah bank terkait pemberian kredit tersebut. Namun, rincian dan identitas bank belum dapat dipublikasikan karena masih dalam proses penyidikan.
“Sampai saat ini beberapa bank sudah dimintai keterangan oleh penyidik,” kata Harli, Senin (5/5/2025).
Sebagai informasi, penyidikan ini berkaitan dengan dugaan korupsi dalam pemberian fasilitas kredit oleh perbankan kepada PT Sritex. Namun hingga kini, Kejagung belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut.
Sebelumnya, PT Sritex dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga Semarang pada 21 Oktober 2024. Perusahaan tekstil terbesar di Asia Tenggara itu gagal melunasi utang senilai Rp32,6 triliun.
Rincian utang tersebut meliputi, Tagihan Kreditor Preveren Rp691,4 miliar, Tagihan Kreditor Separatis Rp7,2 triliun, Tagihan Kreditor Konkuren: Rp24,7 triliun.
Kondisi tersebut berdampak pada penutupan operasional perusahaan per Maret 2025, yang mengakibatkan sekitar 10 ribu pekerja terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).