Isu Palestina dan Radikalisasi Timur Tengah

TRIKPOS.COM, JAKARTA | Konflik Israel dan Palestina sudah berlangsung puluhan tahun telah digunakan oleh kelompok yang dianggap radikal di Timur Tengah seperti Ikhwanul-Muslimin (IM) dan Hizbut Tahrir (HT) untuk kepentingannya.
Hal ini disampaikan Irjen (Pol) Purn. Ansyaad Mbai, Mantan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pada Webinar Konflik Israel-Palestina dan Radikalisasi Timur Tengah yang diselenggarakan oleh Marapi Consulting & Advisory di Jakarta, Selasa (15/6/ 2021).
Ansyaad Mbai mengatakan IM mendorong konflik ini menjadi konflik agama, padahal merupakan masalah politik. Tokoh Arab dan agama di Saudi Arabia juga beranggapan konflik ini masalah politik bukan agama, ujar mantan Kepala BNPT.
Hussein Abri Dorongan , wartawan media nasional Tempo yang telah melakukan perjalanan jurnalistik di Irak dan Suriah, mengatakan ada dua faksi besar di politik Palestina yaitu Fatah dan Hamas. “Fatah adalah kelompok moderat dan Hamas cenderung ekstrim,” Hamas yang berhaluan IM, tidak mau mengedepankan jalan damai dan berafiliasi dengan Iran, ujar Hussein. Wartawan yang berkunjung ke kamp pengungsi para anggota ISIS dari Indonesia selanjutnya juga mengatakan , “yang membedakan dengan isu ISIS, konflik di Palestina adalah isu teritorial dan bukan Ideologi. ” Husein dalam webinar juga menyampaikan penemuan awal perihal adanya usaha merekrut relawan “combatan” warga Indonesia untuk “siap berjihad mati” ke Palestina.
Ansyaad Mbai lebih lanjut mengatakan isu Palestina sering digunakan untuk kepentingan politik domestik. “Semua isu isu menyangkut masalah Timur Tengah akan menjadi bahan bagi kelompok radikal untuk mendelegitimasi Pemerintah, apa bila pemerintah tidak memperlihatkan keperpihakan kepada Palestina khususnya Hamas, pemerintah akan dianggap tidak berpihak kepada Islam, padahal bukan masalah agama disitu tetapi masalah politik.” Perlu pencerahan dan sosialisasi agar isu ini tidak di jadikan amunisi untuk menyerang pemerintah bila tidak berpihak pada perjuangan Islam versi kelompok radikal,” kata Ansyaad.
Wira Halim, Founder dan Peneliti Marapi Consulting & Advisory mengatakan politik di Amerika juga menggunakan isu Israel-Palestina. Partai Republic terutama dari kalangan Kristen Evangelist dikenal pro Israel, sedangkan partai Demokrat lebih kritis atas kebijakan Israel berdasarkan kemanusiaan, bukan Agama.
Dr Ruhaini mantan Staf Khusus Presiden dan Komisioner HAM Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) yang menjadi peserta diskusi menambahkan dalam suatu kesempatan sebagai perwakilan OKI bertemu Presiden Palestina Mahmud Abbas  di Ramalah dimana beliau “sangat menekankan betul agar isu Palestina jangan dijadikan isu dalam negeri.”  “Ada sisi agama yang tidak bisa dinafikan [didalam konflik Israel-Palestina], tetapi harus bisa dipisahkan atau pilah untuk mendapat pemahaman yang komprehensif dimana titik sentralnya adalah penyelamatan kemanusiaan” kata Dr Nuraini.
Indonesia bisa berperan lebih besar dalam menyelesaikan masalah Palestina karena mempunyai daya tawar yang tinggi sebagai negara dengan penduduk beragama Islam terbesar di dunia, “Indonesia mempunyai bargaining power yang besar” ungkap Ansyaad Mbai. Mantan perwira polisi ini namum mengatakan ada semacam standard ganda di kalangan masyarakat dimana pemerintah didesak untuk lebih berperan dalam menyelesaikan konflik tetapi hanya boleh berhubungan langsung dengan satu pihak yaitu Palestina, dan tidak boleh melakukan komunikasi dengan Israel. “Indonesia sulit dianggap sebagai mediator yang netral bila hanya berhubungan dengan Palestina” kata Ansyaad Mbai lebih lanjut.
a64e9001-72f3-4c2d-93ce-66e0c9bd650f