PALEMBANG, TRIKPOS.com – Fakta mengejutkan terungkap dalam sidang lanjutan perkara dugaan korupsi proyek Light Rail Transit (LRT) Palembang yang menjerat mantan Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan RI, Ir Prasetyo Boeditjahjono. Di persidangan terungkap adanya aliran dana yang disebut sebagai fee atau pengembalian senilai lebih dari Rp 25 miliar, yang diserahkan secara tunai menggunakan koper ke dua apartemen di Jakarta.
Fakta tersebut terungkap dari keterangan empat saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejati Sumsel dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Palembang, Rabu (24/12/2025), dengan majelis hakim diketuai Pitriadi SH MH.
Empat saksi tersebut berasal dari PT Perentjana Djaja, yakni Bambang Hariadi Wikanta selaku Direktur Utama, Effendy Direktur Teknik, Hari Suharlan Direktur Keuangan, serta Wiraksa yang berperan dalam pengantaran uang.
Dalam kesaksiannya, Bambang Hariadi Wikanta mengungkap bahwa nilai penawaran awal proyek yang diajukan perusahaannya kepada PT Waskita Karya sebesar Rp 70 miliar, namun kemudian meningkat menjadi Rp 93 miliar. Ia menyebut pencairan proyek dilakukan dalam enam tahap.
Setelah dana proyek dicairkan, kata Bambang, perusahaan menyiapkan dana yang disebut sebagai pengembalian atau fee senilai lebih dari Rp 25 miliar. Dana tersebut tidak pernah dibahas dalam rapat direksi dan tidak dicatat secara resmi dalam pembukuan perusahaan.
“Setelah pencairan, dibuatkan cek untuk dicairkan. Dana itu kemudian diserahkan sebagai pengembalian ke PT Waskita Karya. Saya perintahkan Direktur Keuangan untuk mencairkan dan mengantarkannya,” ujar Bambang di hadapan majelis hakim.
Kesaksian tersebut diperkuat oleh Direktur Keuangan PT Perentjana Djaja, Hari Suharlan, yang mengaku menerima perintah mencairkan dana dalam bentuk tunai. Uang tersebut disebut sebagai biaya koordinasi karena tidak memungkinkan dicatat sebagai pengembalian resmi.
Hari menjelaskan, uang puluhan miliar tersebut dimasukkan ke dalam koper dan diserahkan di Apartemen Kalibata City serta Apartemen MT Haryono, dengan akses masuk yang difasilitasi oleh seseorang bernama Agus dari bagian keuangan PT Waskita Karya.
“Uangnya disiapkan tunai, dimasukkan koper, dan diserahkan di dua apartemen. Saya bersama saksi Wiraksa yang mengantarkan,” kata Hari.
Saksi Wiraksa membenarkan pengakuan tersebut. Ia bahkan mengaku ikut mendampingi proses penghitungan uang di bank karena jumlahnya sangat besar, sehingga dalam setiap pengantaran diperlukan dua hingga tiga koper.
Majelis hakim juga mendalami keuntungan yang diperoleh PT Perentjana Djaja dari proyek tersebut.
Saksi Hari menyebut perusahaan meraup keuntungan sekitar Rp 18 miliar, sementara dana pengembalian Rp 25 miliar dicatat secara internal sebagai kasbon atau biaya overhead dan koordinasi.
Dalam persidangan terungkap pula bahwa PT Perentjana Djaja sudah mulai mengerjakan proyek meski belum mengantongi kontrak resmi. Bambang berdalih keputusan tersebut diambil karena adanya komunikasi dan arahan dari pihak PT Waskita Karya, termasuk terkait permintaan pengembalian dana.
Hakim mempertanyakan kesadaran para saksi atas potensi perbuatan melawan hukum. Bambang mengakui adanya kejanggalan sejak awal, terutama perubahan nilai kontrak yang signifikan, namun proyek tetap dijalankan.
Sementara itu, saksi Effendy menyatakan pihaknya telah mengembalikan lebih dari Rp 22 miliar ke Kejaksaan atas saran penyidik, mengingat estimasi kerugian negara yang mencapai puluhan miliar rupiah.
Dalam dakwaan JPU Kejati Sumsel, Prasetyo Boeditjahjono diduga bersama pihak PT Waskita Karya dan PT Perentjana Djaja melakukan pengondisian penunjukan pelaksana proyek LRT Palembang, disertai kesepakatan penyerahan fee yang menyebabkan pekerjaan tidak dilaksanakan sesuai kontrak.
Akibat perbuatan tersebut, negara disebut mengalami kerugian sebesar Rp 74,55 miliar, berdasarkan hasil audit APIP Kejati Sumsel.












