AIR SUGIHAN, TRIKPOS.com – Sebuah insiden tragis kembali menimpa dunia ketenagakerjaan. Seorang pekerja las (welder) di PT OKI Pulp and Paper Mills, yang berlokasi di Desa Bukit Batu, Kecamatan Air Sugihan, Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumsel, mengalami kecelakaan kerja yang mengakibatkan kaki kirinya putus tergilas mesin industri.
Korban, diketahui sebagai warga Desa Keman Baru, mengalami musibah tersebut ketika sedang bekerja di area mesin penghancur kayu. Tanpa disadari, mesin tersebut tiba-tiba aktif setelah dinyalakan oleh rekannya yang tidak mengetahui keberadaan korban di sekitar alat berat tersebut.
Kecelakaan itu terjadi dalam hitungan detik, namun dampaknya akan dirasakan seumur hidup. Korban yang sempat dilarikan ke fasilitas medis, kini harus menghadapi kenyataan pahit: kehilangan salah satu anggota tubuhnya akibat kelalaian prosedur keselamatan kerja.
Insiden ini sontak menggugah perhatian publik, terutama soal sejauh mana perusahaan menerapkan dan mengawasi standar Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di lingkungan industrinya yang berisiko tinggi.
Secara hukum, PT OKI Pulp & Paper memiliki kewajiban untuk menjamin perlindungan pekerjanya melalui program Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dari BPJS Ketenagakerjaan, sebagaimana diatur dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 dan UU SJSN Nomor 40 Tahun 2004. Kegagalan mendaftarkan pekerja ke dalam program ini dapat memicu sanksi serius, termasuk denda dan pencabutan izin usaha.
Apabila perusahaan terbukti lalai, seluruh biaya pengobatan, perawatan, hingga kompensasi akibat cacat permanen harus ditanggung penuh oleh perusahaan, sesuai dengan Pasal 26 Permenaker No. 5 Tahun 2021.
Dalam kasus ini, kehilangan kaki korban termasuk dalam kategori cacat sebagian anatomis. Berdasarkan regulasi yang berlaku (Permenaker 5/2021 dan PP 82/2019), korban berhak atas santunan sesuai tingkat cacat dan penghasilan terakhir yang diterima. Proses administrasi pelaporan juga wajib dilakukan oleh perusahaan kepada pihak BPJS dan dinas tenaga kerja dalam kurun waktu maksimal 2×24 jam.
Peristiwa memilukan ini seharusnya menjadi momen evaluasi menyeluruh, tidak hanya bagi PT OKI Pulp & Paper, tetapi juga seluruh perusahaan industri berat lainnya. Minimnya pengawasan, kurangnya pelatihan keselamatan kerja, serta abainya komunikasi antarpekerja di area rawan bahaya dapat berakibat fatal.
Kejadian ini menunjukkan bahwa slogan “keselamatan adalah prioritas utama” belum sepenuhnya menjadi budaya yang melekat di lingkungan kerja.
Pihak terkait, mulai dari BPJS Ketenagakerjaan hingga Dinas Tenaga Kerja, diharapkan segera melakukan investigasi menyeluruh untuk mengetahui apakah ada pelanggaran atau kelalaian sistemik dalam kecelakaan ini. Langkah ini penting agar tragedi serupa tidak kembali terulang.
Keselamatan pekerja bukan sekadar kewajiban administratif—itu adalah tanggung jawab moral dan legal yang tidak bisa ditawar.
Reporter: Andi Burlian