PALEMBANG, TRIKPOS.com | Dunia pendidikan Indonesia tengah bertransformasi menuju paradigma baru. Tidak lagi sekadar berorientasi pada nilai akademik, proses belajar kini diarahkan untuk menumbuhkan kesadaran, makna, serta kebahagiaan dalam setiap langkah belajar.
Konsep ini menjadi inti dari Pembelajaran Mendalam (PM), pendekatan holistik yang digagas oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek). Tiga pilar utama yakni berkesadaran, bermakna, dan menggembirakan menjadi landasan untuk membentuk peserta didik yang berpikir kritis, berempati, serta berkarakter kuat.
Kepala SD Negeri 123 Palembang, Rosma Fitriya, S.Pd., M.Pd., menyebut konsep Pembelajaran Mendalam sebagai “angin segar” di tengah sistem pendidikan yang sering terjebak pada hasil semata.
“Kami ingin menghadirkan suasana belajar yang bukan hanya mengejar nilai. Anak-anak perlu diajak menyadari proses belajarnya, merasakan manfaatnya, dan menemukan kegembiraan di dalamnya,” ujar Rosma, Rabu (12/11/2025).
Menurutnya, pendekatan ini menumbuhkan Higher Order Thinking Skills (HOTS), kemampuan berpikir tingkat tinggi yang melatih siswa menganalisis dan menerapkan ilmu dalam konteks kehidupan nyata.
“Siswa tidak hanya memahami teori, tapi belajar bagaimana menerapkannya di dunia nyata,” katanya.
Senada, Kepala SD Negeri 186 Palembang, Zahara, S.Pd., SD, menilai bahwa Pembelajaran Mendalam mengubah paradigma peran guru di sekolah.
“Pendekatan ini memuliakan peserta didik. Guru bukan lagi sumber utama ilmu, melainkan pendamping yang menuntun anak menemukan makna belajar,” tuturnya.
Zahara menambahkan, guru kini dituntut menjadi fasilitator yang menumbuhkan rasa ingin tahu, empati, dan semangat eksplorasi siswa.
“Guru harus reflektif, memahami apa yang dirasakan siswa, dan membantu mereka tumbuh melalui pengalaman belajar nyata,” ujarnya.
Ia menegaskan, keberhasilan Pembelajaran Mendalam membutuhkan ekosistem pendidikan yang kolaboratif dan adaptif. Sekolah perlu membuka kemitraan, memanfaatkan teknologi digital, serta menghadirkan pembelajaran yang terhubung langsung dengan kehidupan nyata.
“Ketika anak belajar tentang lingkungan, mereka bisa langsung turun ke lapangan, berinteraksi dengan masyarakat, dan merasakan dampak nyata dari pengetahuan yang mereka pelajari. Inilah belajar yang hidup, bukan sekadar teori,” pungkasnya. (Hasan)















