Tantangan Advokat Dipersidangan Online Dalam Pembelaan dan Penegakan Hukum di Masa Pandemi Covid-19

Advokat Muda Adv. A. Rilo Budiman SH selaku Ketua Ikatan Lawyers Unsri, Senin (6/9/2021).
Advokat Muda Adv. A. Rilo Budiman SH selaku Ketua Ikatan Lawyers Unsri, Senin (6/9/2021).

PALEMBANG – Adanya Pandemi Covid-19, memaksa setiap orang untuk dapat beradaptasi dengan berbagai pembatasan dan kewajiban dalam mencegah penularan Covid-19. Akan tetapi, Pandemi tidak boleh menjadi penghalang penegakan hukum yang seadil-adilnya.

Dimana menurut Lawrence M Friedman, efektivitas penegakan hukum dapat diukur dengan 5 (lima) faktor, yaitu peraturan hukum, aparat penegak hukum, ketersediaan fasilitas, kondisi sosial masyarakat, dan kultur. Sehingga untuk mengoptimalkan penegakan hukum, maka harus memenuhi dan terus memperkuat faktor-faktor tersebut.

Pengadilan merupakan institusi penegakan hukum terakhir terdampak adanya kebijakan pembatasan, seperti social distancing bahkan lockdown. Pengadilan Hongkong merupakan salah satu pengadilan di dunia yang melakukan kebijakan penundaan seluruh proses persidangan pada 28 Januari 2020 sampai 2 Februari 2020.

Kemudian Mahkamah Agung Singapura juga menerbitkan kebijakan pencegahan penularan Covid-19 pada 27 Maret 2020, melalui The Singapore Judiciary’s Response to Covid-19 dan Registrar’s Circular No. 3 of 2020. Kedua kebijakan tersebut berisi informasi dan kewajiban pencegahan penularan Covid-19 di pengadilan.

Salah satu hal penting yang diatur adalah pengklasifikasian perkara yang dapat dilangsungkan persidangan melalui video conference, phone conferencing, untuk Court Of Appeal, High Court Judge, maupun Singapore International Court.

Di Indonesia, penyesuaian proses persidangan di pengadilan selama Pandemi Covid-19 ditandai dengan diterbitkannya Peraturan Mahkamah Agung No. 5 Tahun 2020 tentang Protokol Persidangan dan Keamanan dalam Lingkungan Perebelumnya, Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung No. 3 Tahun 2018, yang mengatur mengenai e-court. Sehingga para pihak dapat mendaftarkan perkara, estimasi biaya panjar, pembayaran, panggilan relasi, dan menghadiri persidangan secara daring. Sehingga dengan adanya pengaturan tersebut.

Penggunaan teknologi untuk penyelesaian perkara di lembaga peradilan merupakan terobosan baru selama Pandemi ini. Dimana dalam Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai pedoman hukum acara pidana di Indonesia tidak mengatur mengenai persidangan online.

Lebih lanjut, persidangan secara online, memiliki beberapa lima kelemahan. Pertama, sarana dan prasarana. Perlu fasilitas internet yang memadai untuk dilangsungkan persidangan secara online.

Dimana di Indonesia masih banyak wilayah yang belum peroleh fasilitas internet secara kuat untuk persidangan online. Kedua, kekuatan pembuktian. Penggalian fakta perbuatan oleh penuntut umum dan hakim menjadi sulit dengan persidangan online, karena Terdakwa tidak dihadirkan secara tatap muka langsung. Lalu barang bukti yang dihadirkan juga tidak dapat diakses secara jelas dan meyakinkan, sehingga rentan palsu dan sebagainya.

Kesulitan peroleh fakta perbuatan dalam pembuktian tersebut menjadi masalah, karena Pasal 183 KUHAP menekankan hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang, kecuali apabila dengan sekurang -kurangnya dua alat bukti yang sah, hakim memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwa bersalah melakukannya.

Ketiga, keterbatasan sarana dan prasarana ruang sidang yang memiliki perangkat teleconference. Masih banyak lembaga pemasyarakatan yang belum memiliki fasilitas teleconference untuk sidang secara daring. Terlebih tiap tahanan memiliki jadwal persidangan sendiri yang rentan berbenturan, namun minim sarana. Keempat, keamanan dan kekuatan jaringan.

Persidangan daring membutuhkan jaringan yang aman melindungi data pribadi Terdakwa, khususnya perempuan dan anak berhadapan dengan hukum. Dimana penggunaan aplikasi zoom dalam persidangan daring memiliki risiko peretasan.

Selain itu, koneksi internet pada daerah-daerah di Indonesia yang belum merata, menyebabkan jalannya persidangan terganggu, bahkan untuk peroleh keterangan. Kelima, keterbatasan kemampuan sumber daya manusia.

Kesalahan manusia (human error) seringkali menjadi kendala dalam persidangan daring, terlebih terbatasnya tenaga IT di tiap pengadilan atau lembaga pemasyarakatan, menyebabkan penanganan berlarut-larut hingga menghabiskan banyak waktu persidangan yang seharusnya dijalani secara maksimal. Terhadap masalah-masalah tersebut, menyebabkan praktik penegakan hukum di persidangan tidak berjalan efektif, bahkan terkesan useless.

Oleh sebab itu, perlu dilakukan beberapa langkah dalam penguatan persidangan daring. Pertama, penambahan jumlah teknisi IT di tiap pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Sehingga kendala dalam jalannya persidangan online dapat segera diatasi oleh ahlinya.

Kedua, revisi KUHAP, dengan memasukan persidangan secara online serta teknis aturannya. Ketiga, perkuat infrastruktur dan ketersediaan koneksi internet di wilayah-wilayah Indonesia, khususnya di pengadilan dan lembaga pemasyarakatan. Keempat, penambahan sarana dan prasarana teleconference di tiap pengadilan dan lembaga pemasyarakatan.

“Dengan langkah-langkah tersebut, maka proses penegakan hukum melalui persidangan daring dapat berjalan secara optimal,” ucap advokat Muda Adv. A. Rilo Budiman SH selaku Ketua Ikatan Lawyers Unsri, Senin (6/9/2021).