Pasca Pilkada, Lupakan Perbedaan, Jadikan Politik Sarana Persatuan

TRIKPOS, COM, PALEMBANG – Pasca Pilkada, politik di Sumatera Selatan kembali menjadi sorotan. Berbagai fenomena, seperti politik uang dan peredaran amplop, memicu diskusi hangat di kalangan pengamat, praktisi hukum, dan tokoh masyarakat.

Pengamat politik Sumsel, Ade Indra Chaniago, menilai peredaran amplop selama masa tenang berlangsung masif, terlihat dari perbedaan hasil survei sebelum Pilkada dan hasil quick count.

“Saya terkejut saat pasangan calon (paslon) nomor 01 mencatatkan kemenangan hingga 73 persen dalam quick count. Langsung terlintas bahwa setidaknya ada 3,3 juta amplop yang beredar, karena fenomena ini juga ramai diperbincangkan di media sosial,” ujar Ade di acara diskusi di Kawan Ngopi Cafe, Jumat malam (6/12).

Praktisi hukum Mualimin Pardi Dahlan menambahkan bahwa masyarakat belum memahami bahwa politik uang adalah pelanggaran hukum serius. Ia menyoroti adanya fenomena “perlombaan amplop” di masyarakat.

“Bagi warga, ini seperti kompetisi. Ada yang bilang di sini amplop Rp50 ribu, di tempat lain Rp100 ribu. Padahal ini adalah masalah hukum yang seharusnya tidak dianggap remeh,” jelasnya.

Menurutnya, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) harus bertindak tegas. Jika bukti cukup, praktik ini dapat dikategorikan sebagai pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM), yang berpotensi menyebabkan diskualifikasi paslon terkait.

“Jika benar ada 3,3 juta amplop, itu jelas pelanggaran TSM. Seharusnya, kemenangan paslon tersebut dianulir,” tegas Mualimin.

Pengamat politik lainnya, Bagindo Togar, menilai bahwa masifnya politik uang menunjukkan bahwa budaya politik di Sumsel masih terjebak pada praktik primitif.

“Ini seperti barter: amplop dan bansos ditukar dengan suara. Ini adalah cerminan kegagalan membangun ekosistem politik modern berbasis ide dan gagasan,” ujarnya.

Bagindo pesimistis akan adanya perubahan signifikan selama lima tahun ke depan. “Dengan politik uang yang begitu masif, sulit berharap ada perbaikan nyata. Proses yang cacat biasanya menghasilkan hasil yang sama buruknya,” tutup Bagindo.

Dari sudut pandang berbeda, salah satu narasumber Relung Forum, Cek Maria, menekankan pentingnya menjadikan politik sebagai sarana untuk menyatukan masyarakat.

“Politik seharusnya menyatukan, bukan memecah belah. Setelah Pilkada selesai, semua pihak, termasuk masyarakat, harus kembali menjaga harmoni dan tidak saling menjatuhkan,” ujar Maria, yang juga dikenal sebagai influencer dan komedian.

Ia memberikan apresiasi terhadap diskusi publik yang diadakan Relung Forum sepanjang Pilkada. Menurutnya, forum-forum seperti ini mendorong transparansi dan memberikan rekomendasi konstruktif kepada pemangku kebijakan.

“Semoga melalui forum ini, kita bisa memberikan masukan yang membangun, sehingga demokrasi di Sumsel dapat berjalan lebih baik. Pilkada sudah selesai, kini saatnya kita bersama membangun Sumsel dengan kolaborasi yang kuat,” tutup Maria.

(Yanti/rilis)

a64e9001-72f3-4c2d-93ce-66e0c9bd650f