PALEMBANG – Di tengah kondisi perekonomian PPKM saat ini, pinjaman online (pinjol) kerap jadi solusi untuk memenuhi kebutuhan. Dengan pengajuan mudah, dana bisa segera didapatkan, tanpa ada agunan cukup menyertakan data diri melalui alamat email di handphone.
Seperti terjadi di Jawa Tengah, Afifah (27th) terjerat pinjaman online hingga ratusan juta rupiah. Dia awalnya hanya meminjam Rp 3,7 juta, namun akibat tidak urus, membengkak menjadi Rp 206,3 juta.
Menyikapi hal di atas, Ketua YLKI Sumsel Dr RM Taufik Husni SH MH menyampaikan, aduan konsumen tentang Pinjol mulai tahun 2018 – 2019. Rata-rata konsumen di telpon dengan cara tidak etis dalam hal penagihan.
Tidak jarang semua kontak telepon yang dipunyai korban tiba-tiba sudah dalam penguasaan pihak pinjol dan dihubungi saat penagihan.
Pihak Pinjol tidak ragu untuk memberitahukan bahwa saat ini yang bersangkutan (debitur) belum melunasi angsuran atau menunggak.
“Intinya debitur dalam penagihan dijatuhkan mentalnya secara sosial,” imbuhnya.
Logikanya, kata RM Taufik, transaksi manual atau konvensional saja dalam urusan pinjaman masih direpotkan dengan seluruh syarat administrasi
untuk membatalkan suatu transaksi.
“Dilihat dari sisi data, susah untuk menghapusnya, apalagi sisi bunga jika terlambat membayar akan terus membengkak. Inilah yang sering harus diperhatikan pemerintah,” jelasnya.
“Tentunya masyarakat (konsumen) bukannya tidak sadar, namun bagaimana cepat dapat duit tersebut, sedangkan urusan pembayaran biasanya itu soal belakangan. Terpenting bisa bertahan memenuhi kebutuhan,” tambahnya.
RM Taufik menghimbau masyarakat agar meminalisir sekecil mungkin untuk melakukan pinjaman online. Kalaupun terpaksa, tentu harus jelas
sebelum meminjam pinjol, calon debitur harus mempelajari, terlebih cek dahulu legalitas perusahaan tersebut. Hal ini bertujuan agar calon debitur tidak terjerat sistem yang merugikan.
“Sebelum melakukan transaksi sebaiknya calon debitur mengecek terlebih dahulu ke OJK nama perusahaan yang memberikan pinjaman itu,” ujarnya.
Menurutnya, dalam peraturan OJK nomor 07/2013 tentang perlindungan konsumen sektor jasa keuangan pada pasal 19 disebutkan pelaku jasa keuangan dilarang melakukan penawaran produk dan layanan kepada konsumen maupun masyarakat melalui sarana komunikasi bersifat personal, contohnya e-mail, SMS, dan voice mail tanpa persetujuan konsumen.
Sementara, dalam undang-undang nomor 8 tahun 1999 secara rinci jelas menyatakan bahwa pemberian perlindungan kepada konsumen dalam rangka memenuhi kebutuhan sebagai konsumen.
Teks : iwan