PALEMBANG, TRIKPOS.com – Provinsi Sumatera Selatan kembali menorehkan prestasi di kanca nasional. Di bawah kepemimpinan Gubernur H. Herman Deru, Sumsel menjadi provinsi pertama di Indonesia yang meluncurkan inisiatif perlindungan hak perempuan dan anak pasca perceraian, sekaligus pencegahan perkawinan anak.
Langkah bersejarah ini ditandai dengan penandatanganan Kesepakatan Bersama antara Pemerintah Provinsi Sumsel dan Pengadilan Tinggi Agama Palembang di Griya Agung, Palembang, Selasa (22/7/2025). Kesepakatan ini turut diperkuat melalui penandatanganan perjanjian kerja sama antara seluruh Bupati/Wali Kota se-Sumsel dengan Pengadilan Tinggi Agama.
“Ini bentuk nyata komitmen kita melindungi generasi penerus dari dampak negatif perkawinan usia dini dan perceraian,” ujar Gubernur Herman Deru.
Ia menekankan bahwa anak korban perceraian kerap mengalami tekanan psikologis berat. Tidak hanya berdampak pada ekonomi keluarga, namun juga menurunkan kepercayaan diri, mempersempit ruang sosial, hingga menghambat pengembangan potensi diri.
“Efek psikologis perceraian bisa lebih merusak dibanding kehilangan orang tua karena kematian. Jika anak sudah merasa minder, pikirannya tertutup, masa depannya pun jadi suram,” tegas Deru.
Inisiatif ini mendapat apresiasi tinggi dari Direktur Jenderal Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung RI, Drs. H. Muchlis, S.H., M.H. Ia menyebut langkah tersebut sebagai “tinta emas” dalam sejarah peradilan agama dan pemerintahan daerah.
Menurut Muchlis, kolaborasi antara Pemprov Sumsel dan Pengadilan Tinggi Agama merupakan sinergi strategis yang patut dicontoh oleh provinsi lain. Ia bahkan berencana melaporkan terobosan ini langsung ke Mahkamah Agung.
“Kami ingin menjamin hak perempuan dan anak, termasuk nafkah pasca perceraian dan perlindungan sosial, bisa dipenuhi dan diakses dengan mudah,” ujarnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Sumsel, Fitriana, S.Sos., M.Si., mengungkapkan bahwa kerja sama ini lahir dari keprihatinan terhadap tingginya angka perkawinan anak di Sumsel.
Data BPS menunjukkan, pada 2024 angka perkawinan anak di Sumsel mencapai 8,45%, tertinggi ke-10 dari 38 provinsi. Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama Palembang mencatat 891 permohonan dispensasi perkawinan anak selama tahun lalu.
Fitriana menegaskan bahwa perkawinan usia dini berdampak luas dari sisi kesehatan, psikologis, risiko KDRT, stunting, hingga perceraian dini yang memicu rantai kemiskinan baru.
“Melalui kerja sama ini, kita berharap setiap perempuan dan anak memiliki perlindungan hukum dan sosial yang kuat, sekaligus memutus rantai perkawinan dini demi masa depan yang lebih baik,” pungkasnya. (*)